Apakah
ada orang yang mengaku tidak mau kaya atau hidup berkecukupan? Mungkin
ada, tapi sulit dicari. Setiap bulan, begitu banyak orang ramai menabung
atau menyisihkan pendapatan. Lalu apa yang jadi hambatan untuk orang
berkecukupan?
Setidaknya ada lima hal yang mungkin disadari atau tidak, selalu menggerus uang kita. Apa saja? Silakan simak:
1. Inflasi
Istilah ini bermakna laju kenaikan harga. Tiap tahun harga barang,
terutama dalam kelompok makanan, naik. Sepanjang tahun lalu, seperti
dilansir Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi mencapai 4,3 persen. Ini
artinya daya beli uang kita menurun sebesar angka inflasi tersebut. Jika
Anda punya uang Rp 1.000.000, berarti nilainya berkurang Rp43 ribu.
Berarti lebih baik simpan uang di bank? Sebentar, cek dulu suku bunga
yang ditawarkan. Kalau di bawah angka inflasi, tetap saja uang Anda akan
berkurang. Belum lagi dikurangi biaya administrasi atau iuran. Apalagi
kalau uangnya disimpan di bawah kasur.
2. Gaji tidak naik
Pendapatan bulanan yang tidak mengalami kenaikan, itu sama saja nilainya
yang berkurang. Apalagi, biaya sehari-hari bisa mengalami kenaikan yang
lebih besar dibandingkan inflasi. Baik untuk konsumsi maupun
transportasi. Dengan begitu, pendapatan tetap namun pengeluaran
bertambah besar. Sehingga yang bisa disisihkan sebagai simpanan makin
minim.
Karena itu, jika bekerja di perusahaan yang tidak bisa menaikkan gaji
tahunan atau lazim dikenal dengan penyesuaian terhadap inflasi (di
beberapa tempat, plus prestasi) sebaiknya minta dicarikan solusi.
Misalnya kantor menyediakan makan siang bagi stafnya.
3. Lokasi kantor
Tempat Anda memperoleh pendapatan dan tempat membelanjakannya akan
sangat menentukan besarnya nilai pendapatan yang bisa dikantongi.
Misalnya, Anda bekerja di Jakarta dengan standar gaji minimum sudah di
atas Rp2 juta. Lalu Anda membelanjakannya di Bogor, Jawa Barat, yang
laju kenaikan harga barang pada Desember hanya 0,16 persen (Jakarta 0,56
persen). Dengan begitu, jelas belanja di Bogor lebih irit.
Boleh jadi, ini juga sebagai alasan banyaknya karyawan di Jakarta yang
lebih memilih tinggal di Bogor. Mirip dengan orang Johor, Malaysia yang
bekerja di Singapura dengan pendapatan dolar. Tapi belanjanya ringgit.
4. Jumlah anggota keluarga
Keluarga yang dimaksud di sini bukan sekadar keluarga inti. Tapi juga
“penduduk” lainnya seperti pembantu atau keluarga besar. Sepanjang
kemampuan ekonomi memadai, tentu tidak masalah. Justru jadi persoalan
ketika kebetulan kemampuan ekonomi ala kadarnya.
Jangan bayangkan pengeluaran untuk keluarga tambahan itu sekadar uang
makan sehari-hari. Tapi juga harus dihitung pemanfaatan listrik hingga
air. Bisa dipastikan kapasitasnya pun akan ikut lebih besar dari
biasanya. Ujung-ujungnya ya tambahan pengeluaran.
5. Gaya hidup
Waspadai gaya hidup. Terutama gadget yang setiap bulan bisa lahir produk
baru. Jika tak menahan diri, jangan heran kantong terus tipis walaupun
pendapatan naik. Jangan sampai, begitu pendapatan bertambah sedikit
sudah langsung kredit mobil. Perlu diingat, yang harus dibayar bukan
sekadar cicilan, tetapi juga ongkos perawatan rutin serta bahan bakar.
Bisa dipastikan, biaya juga ikut bertambah dibandingkan yang dikeluarkan
sebelumnya.
Solusi paling sederhana dari kasus ini adalah menjaga pengeluaran tetap
stabil. Kalaupun ada kenaikan, tidak lebih besar dari laju kenaikan
pendapatan.
Namun, memang ada hal lain yang tidak bisa kita jaga, yaitu inflasi. Mau
tak mau, kita hanya bisa menerima hal itu sebagai faktor eksogen atau
faktor dari luar yang diterima apa adanya. Untuk hal ini, mungkin solusi
investasi di tempat yang dirasakan aman dan mampu menjanjikan tingkat
pengembalian (return) di atas angka inflasi bisa dijadikan solusi.
Anda bisa menanam investasi pada saham maupun emas. Bisa juga investasi
campuran lewat reksadana. Terpenting yang perlu dikenali sebelum
memulainya adalah kredibilitas dan legalitas perusahaan tempat
menitipkan dana, serta risiko instrumen yang dipilih.
Komentar
Posting Komentar